Rabu, 08 April 2009

Domestikasi Arah Politik Pendidikan

Oleh : Danz


Adalah seorang Paulo Freire yang mengatakan bahwa masalah pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah sosio-politik, karena bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan pengembangan pendidikan. Namun apa jadinya bila dunia pendidikan banyak terkontaminasi urusan politik ? tentu saja tergantung bagaimana para pelaku politik itu menyikapi pendidikan. apakah mereka benar-benar menginginkan negara ini maju dengan memiliki sumberdaya manusia yang cerdas, mandiri, kreatif, serta penuh inisiatif ? atau justru penuh pretensi yang muaranya adalah pada vested interest, pementingan diri sendiri dan kelompok ?


Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat kita temukan bila mencermati pelaksanaan politik pendidikan yang berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Pada masa perjuangan kemerdekaan, dapat dilihat atau setidaknya mendengarkan kesaksian dari para sesepuh kita bagaimana proses pendidikan dijalankan oleh pemerintah. Periode tahun 1908-1945 ditandai kehadiran pemimpin-pemimpin politik yang penuh dedikasi dan gigih dalam perjuangan mereka merebut bangsa ini dari tangan penjajah. Mereka adalah pemimpin politik yang dapat dipandang sebagai model yang pantas ditiru. Dokter Wahidin Sudirohusodo kala itu begitu yakin bahwa pendidikan merupakan resep mujarab mengentaskan bangsa dari keterbelakangan dan kemelaratan. Demikian pula Ki Hajar Dewantara mengemas pemikirannya tentang pendidikan dalam sebuah konsep sederhana namun begitu dalam filosofinya : Ing Ngarso sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan di belakang
mengawasi.


Sepertinya, penjabaran tentang pendidikan banyak yang menganggap sebuah solusi khususnya, untuk kemajuan sebuah bangsa sekalipun, untuk jaman sekarang itu hanya sebuah “ilusi” betapa tidak, pendidikan hari ini ternyata semakin jauh dari nilai esensi yang sebenarnya yang seperti di ucapkan oleh Ki Hajar Dewantara “Di depan memberi contoh, Di tengah membangun, dan di belakang mengawasi” jika benar, pendidikan hari ini tetap sepeti yang selalu didengungkan oleh setiap orang dan di, agungkan kenapa masih ada bangunan sekolah yang tidak layak pakai, sekolah yang tidak memiliki tempat duduk dan meja serta, semakin mahalnya biaya pendidikan lantas, apakah masih layak pendidikan dijadikan sebuah solusi untuk membangun bangsa, memperbaiki SDM lebih baik serta, bisa membebaskan dari keterpurukan dan kemiskinan?


Yang jelas, pendidikan hari ini masih di kendalikan oleh arah kebijakan politik bahkan, dunia pendidikan akan menjadi “korban” jika arah kebijakan politik tidak menentu padahal, bukankah pendidikan merupakan salah satu solusi untuk menuntaskan “segala hal”? campur tangan yang secara tidak langsung antara dunia pendidikan dengan kebijakan elit politik masih sangat kuat sekalipun, masih banyak yang tidak mengakuinya padahal, hari ini pendidikan dengan politik hampir tidak bisa “dilepaskan” karena, dunia pendidikan masih menjadi lahan yang bagus untuk dijadikan alat.


Taruhlah sekarang ini ada pelaku politik yang mencoba bersuara agak lantang tentang kebebasan akademik maupun otonomi sekolah dan kampus serta keilmuan pada kenyataannya tak lebih dari sekedar slogan-slogan kosong atau janji-janji politik manis saja. Sangat mudah diucapkan, namun susah dilaksanakan, karena itu semua amat tergantung pada situasi dan iklim politik. seperti dikatakan David N. Plank dan William Lowe Boyd ( 1994 ) dalam Antipolitics, Education, and Institutional Choise : The Flight From Democracy, bahwasanya antara pemerintah yang demokratis, politik pendidikan, pilihan institusi, serta antipolitik berkorelasi dengan tercapainya tujuan pendidikan yang selaras dengan kepentingan publik. Melalui analisis mereka, kita bisa belajar bahwa dalam masyarakat modern, institusi pendidikan diharapkan menyelaraskan dengan tujuan dan kepentingan publik, lewat tangan para pakar pendidikan. Namun realitanya berbicara lain; justru yang sering terjadi adalah konflik berkepanjangan karena kepentingan politiklah yang dominan bermain, baik itu dari para pekerja politik, politisi, pengendali pemerintahan, maupun ahli politik.


Jelas sudah bila pendidikan telah terkooptasi sedemikian rupa dengan kebijakan politik, maka secara umum tidaklah menguntungkan, karena dimungkinkan terjadinya pembusukan dari dalam sebagai akibat penjinakan (domestikasi) dinamika pendidikan itu sendiri. Kondisi ini semakin diperparah dengan tidak memadainya kualifikasi orang-orang yang mengambil kebijakan, dalam arti mereka begitu minim pemahaman tentang pendidikan, sehingga tak mampu menyelami hakikat dan masalah dunia pendidikan. Oleh karena itu tidak aneh bila selama ini sektor pendidikan mereka jadikan sekedar kuda tunggangan. Sebab yang ada dalam benak mereka hanyalah kepentingan-kepentingan politik sesaat, seperti bagaimana mendapat sebanyak mungkin simpati dari golongan mayoritas tertentu serta bagaimana dapat menduduki kursi panas selama mungkin (menyitir ucapan Tantowi Yahya dalam Who Wants to be Millioner).

Jumat, 03 April 2009

Audisi Menjadi Pemimpin Bangsa

Oleh : Eki Baihaki *

Pertarungan memperebutkan kepemimpinan negeri yang akan berlangsung dalam waktu hitungan beberapa bulan ke depan sudah mulai memanas, selain tebar pesona bahkan tebar hujatan dintara para kandidat calon pemimpin negeri. Pertanyaan besar yang muncul berkaitan dengan pemilihan negeri kita, "Apakah perheletan tersebut mampu menghasilkan preisden tidak hanya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tetapi juga seorang pemimpin bangsa?.

Kita memerlukan seorang pemimpin sejati di tengah kondisi bangsa yang sedang dijangkiti "penyakit qolbu (hati)". hampir sebagian besar anak bangsa sast ini bagaikan jangkrik-jangkrik yang sedang berkelahi, berpukul-pukulan, bahkan tak sungkan-sungkan saling menghujat. Serta masyarakat yang sedang mengalami kelelahan batin dalam menjalani hidup ini. dan indikator kepemimpinan yang bagaimanakah yang arus dimiliki oleh presiden terpilih agar kelak agar dapat mengatasi keterpurukan bangsa.


Prof. Dr. H.A. Djadja Saefullah, Drs., M.A.,Ph.d berpendapat bahwa pemilihan presiden secara langsung akan dapat mengatasi keterpurukan bangsa Indonesia apabila presiden yang dipilih bukan hanya sebagai seorang kepala pemerintahan atau kepala negara tetapi adalah seorang pemimpin dari bangsa yang sangat heterogen ini. Sebagaimana dipahami dalam konsep-konsep teoritis, secara formal dan material kapasitas dan kualitas seorang pemimpin sangat berbeda dengan kualitas dan kapasitas seorang kepala.


Berbeda dengan “Kepala” yang dapat dibuat, diangkat atau diatur, maka “Pemimpin” adalah representasi dari orang yang dipimpinnya. Kepala negara atau kepala pemerintahan bisa dibuat dan diatur oleh pihak-pihak yang berkuasa dalam negara (pemimpin partai, pemilik modal, pemimpin militer, tokoh kharismatik dan pihak-pihak yang mampu mewarnai dan mendominasi jalannya negara ini). Lebih lanjut dalam pandangannya, pemimpin harus merupakan representasi dari dari semua orang yang disebut rakyat atau warga negara dari negara yang bersangkutan. Sejarah menunjukan bahwa kemunculan seorang pemimpin bermula dari ketokohannya yang dapat diterima semua pihak. Dengan kata lain, seorang pemimpin bukan hanya muncul dari tengah-tengah orang yang dipimpinnya tetapi juga harus dapat diterima oleh semua pihak.


Beberapa Indikator


Dari banyak indikator seorang presiden yang memiliki kualifikasi seorang pemimpin, salah satu diantaranya adalah kemampuannya dalam mengelola emosi dirinya dan emosi orang yang dipimpinnya atau dikenal dengan Emotional Intelligence (EQ). Seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan emosional dituntut mampu memahami emosi dirinya, emosi orang yang dipimpinnya serta mampu mengelola emosi-emosi tersebut dalam hubungan sosial untuk mewujudkan tujuan bersama. Kemampuan tersebut diperlukan dalam merespon kondisi bangsa yang bagai buih ombak di lautan dan kondisi bangsa yang mengalami kelelahan batin dalam menjalani hidup ini. Hanya pemimpin yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi yang akan diterima dan memberi harapan kepada orang yang dipimpinnya.


Dalam skala mikro, David Goleman telah melakukan penelitian terhadap kondisi emosi karyawan kaitannya dengan laba perusahaan. Salah satu hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa “laba perusahaan berbanding lurus dengan kondisi emosi karyawannya”. Hal tersebut menunjukan kepada kita bahwa tugas utama pemimpin adalah berkemampuan cerdas mengelola emosi karena setiap orang memiliki perasaan berbeda-beda dan dapat berubah setiap saat. Hal ini merupakan suatu hal yang sangat manusiawi. Selaku pemimpin, mampukah kita untuk memerintahkan karyawan kita untuk melepaskan berbagai perasaan yang tidak nyaman ketika bekerja?.


Dalam pandangan lama, seorang pemimpin yang terlalu banyak mempertimbangkan faktor-faktor perasaan bawahannya dianggap sebagai pemimpin yang lemah tetapi saat ini hal tersebut sudah merupakan suatu kebutuhan.


Belajar dari penelitian tersebut, maka tugas utama presiden selaku pemimpin adalah mampukah mengelola perasaan atau qolbu Bangsa Indonesia yang sedang gelisah, emosional dan putus harapan menjadi lebih baik dan memiliki optimisme yang selanjutnya akan mewujudkan komitmen bersama untuk menggapai harapan, dengan tidak menjadikan orang yang dipimpinnya sebagai instrumen bagi kesuksesnya tugas kepmimpinannya.


Seorang presiden yang sekaligus seorang pemimpin, semestinya memiliki kecerdasan emosional (EQ) tinggi untuk menciptakan lingkungan yang nyaman bagi orang yang dipimpinnya. Dalam pandangan para ahli IQ dikatakan relatif tetap, maka EQ untungnya masih dapat untuk ditingkatkan. Sejak dahulu ada perdebatan abadi apakah seorang pemimpin dilahirkan atau dibentuk oleh waktu dan keadaan. Begitu juga dengan kecerdasan emosional, ada yang sudah dimiliki sejak ia lahir sehingga ia memiliki kepekaan memahami emosi dirinya dan emosi orang lain dengan baik, -ataukah hal tersebut merupakan akumulasi dari hasil gemblengan hidup dari mulai kecil hingga dewasa. Penelitian menunjukan bahwa ada komponen genetik yang dimiliki orang tertentu, memungkinkan sejak lahir memiliki kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sekitarnya. Tetapi juga dengan pengalaman hidupnya, jika mau setiap orang dapat meningkatkan kecerdasan emosi mereka. Disamping waktu menjadikan seseorang menjadikan lebih matang dan bijaksana.


Seorang pemimpin yang efektif adalah yang disamping memiliki kapabilitas, karakter dan integritas, juga memililiki ketulusan hati untuk memperhatikan rakyatnya. Seseorang yang mampu membuat rakyat merasa nyaman walaupun dalam keadaan sulit sekalipun. Ia mampu membangkitkan semangat warganya untuk bersama-sama bekerja keras sebagai wujud komitmen kebangsaannya. Untuk itu ia harus mampu menjadi panutan, pemimpin yang leading by examples menjadi sumber inspirasi dan menjadi seorang pemimpin yang mampu menciptakan resonansi pada orang yang dipimpinnya.


Sejarah mencatat dalam revolusi fisik tahun 1945-1949, kondisi bangsa lIndonesia secara lahiriah dan batiniah saat itu lebih susah dibandingkan kondisi saat ini. Tetapi mengapa semangat hidup dan daya juang bangsa Indonesia begitu tinggi ? Dibandingkan kondisi saat ini meski secara lahiriah lebih baik, namun secara batiniah kondisinya cukup memprihatinkan --yang dibuktikan dengan meningkatnya jumlah penderita gangguan jiwa dan maraknya kasus bunuh diri yang dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat dari anak-anak hingga orang dewasa, dari kalangan bawah hingga kalangan atas. Karena beragam motif –salah satunya adalah hilangnya akan harapan masa depan yang lebih baik.


* Pembina Lembaga Pers Mahasiswa Momentum


. © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute